Dayah, Boarding School, dan Kegelisahan Orang Tua Antara Pergaulan Bebas dan Bully di Dayah

By 2 bulan lalu 4 menit membaca

Setiap kali memasuki tahun ajaran baru, lembaga pendidikan dayah dan pesantren di Aceh kembali membuka pendaftaran santri. Fenomena ini selalu membawa suasana khas: wajah-wajah orang tua yang penuh harapan, sekaligus bayangan kegelisahan yang tak bisa disembunyikan. Di satu sisi, mereka ingin menjaga anak-anak dari pergaulan bebas yang dikhawatirkan merusak akhlak. Namun di sisi lain, ada kabar-kabar tak sedap tentang praktik bully (perundungan) di sejumlah dayah yang membuat hati mereka ragu.

Pertanyaan klasik pun kerap muncul: “Tgk, ho lon jak jok aneuk lon, bak dayah kiban yang aman dari bully?” (Tengku, ke dayah seperti apa sebaiknya saya pondokkan anak saya agar aman dari perundungan?). Pertanyaan sederhana, tetapi sarat dengan beban psikologis. Sebab, menitipkan anak di dayah bukan sekadar soal pendidikan agama, melainkan juga kepercayaan penuh terhadap sistem pengasuhan dan keamanan lembaga tersebut.

Ragam Corak Dayah di Aceh

Untuk menjawab kegelisahan itu, pertama-tama orang tua perlu memahami bahwa dayah di Aceh memiliki corak yang beragam. Secara umum, ada tiga model. Pertama, dayah salafiyah, yang fokus pada kajian kitab kuning dan mempertahankan tradisi klasik. Sebagian sudah membuka jalur formal melalui program mu’adalah Kemenag, bahkan hingga setara perguruan tinggi. Tujuannya jelas: mencetak kader ulama untuk Aceh.

Kedua, pesantren modern, yang lebih mirip boarding school. Sistemnya menekankan pendidikan formal SMP/MTs dan SMA/MA dengan tambahan kurikulum agama serta penguasaan bahasa. Santri di sini diarahkan untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi atau dunia kerja.

Ketiga, corak semi atau gabungan salafiyah dan modern. Model ini mengkombinasikan kurikulum dayah dengan sekolah formal. Ada yang menata jadwal terpisah, ada pula yang sudah menerapkan sistem mu’adalah.

Setiap corak punya keunggulan dan kelemahan. Namun, bagi orang tua yang resah soal bully, perhatian utama seharusnya tidak berhenti pada kurikulum. Justru yang paling menentukan adalah model pemondokan santri.

Model Pemondokan dan Potensi Bully

Hasil pengamatan di berbagai dayah di Aceh menunjukkan ada tiga pola besar pemondokan.

Pertama, kamar campuran antar-tingkatan. Dalam sistem ini, santri baru ditempatkan bersama santri senior yang sudah berpengalaman. Biasanya, ikatan kekerabatan atau asal kampung membuat senior merasa bertanggung jawab. Mereka berfungsi layaknya kakak asuh: membimbing belajar, merawat ketika sakit, hingga mendampingi adaptasi. Dengan adanya figur senior, potensi bully berkurang drastis.

Kedua, kamar khusus santri baru dengan beberapa kakak leting. Di sini, santri baru dipisahkan, hanya ditemani satu-dua senior. Namun karena kesibukan senior, pengawasan sering longgar. Akibatnya, interaksi antar-santri baru bisa melahirkan dominasi satu pihak, yang menjadi celah munculnya bully dalam skala kecil.

Ketiga, kamar khusus santri baru tanpa pendamping senior. Semua santri baru berkumpul tanpa pengawas yang lebih matang. Model ini paling rawan. Anak yang merasa lebih kuat atau lebih berani bisa dengan mudah mendominasi. Tanpa figur senior, interaksi sebaya berjalan liar, dan bully menjadi sulit dicegah.

Dari ketiga pola itu, jelas bahwa model pertama jauh lebih aman. Namun, tidak ada sistem yang benar-benar sempurna.

Menjawab Keresahan Orang Tua

Apa artinya bagi orang tua? Pertama, penting untuk lebih cermat memilih dayah, bukan hanya berdasarkan nama besar atau tradisi, tetapi juga sistem pemondokan yang diterapkan. Jangan segan bertanya: bagaimana kamar santri diatur, siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana mekanisme pengawasan berlangsung.

Kedua, orang tua tidak boleh melepas sepenuhnya tanggung jawab kepada pihak dayah. Komunikasi rutin dengan pengasuh dan guru, kunjungan berkala, serta keterlibatan dalam forum wali santri sangat penting. Anak yang tahu orang tuanya terlibat akan merasa lebih aman, dan pihak dayah pun terdorong menjaga kepercayaan.

Ketiga, pihak dayah sendiri harus memiliki regulasi tegas terkait perundungan. Bully tidak bisa dianggap “proses biasa” atau “cara melatih mental”. Perundungan adalah bentuk kekerasan yang merusak kepercayaan diri santri. Karena itu, dibutuhkan SOP penanganan, sanksi yang jelas, dan edukasi bagi seluruh santri agar menciptakan budaya asrama yang sehat.

Kegelisahan orang tua antara pergaulan bebas dan bully adalah dilema nyata yang hadir setiap awal tahun ajaran. Namun, dayah tetaplah salah satu benteng terkuat dalam menjaga akhlak generasi muda Aceh. Pilihan untuk memondokkan anak bukan semata soal menghindari risiko, melainkan bagaimana mengelola risiko dengan bijak.

Dengan memilih lembaga yang tepat, mengedepankan komunikasi, dan memastikan pengawasan yang baik, orang tua dapat lebih tenang. Pada akhirnya, pendidikan berasrama memang penuh dinamika. Anak akan belajar menghadapi konflik, beradaptasi, dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih matang. Selama bully dicegah secara sistematis, maka dayah akan tetap menjadi ruang aman dan mulia untuk membentuk generasi Aceh yang berkarakter Islami, tangguh, dan berakhlak mulia.


Oleh:
Dr. Tgk. Saiful Bahri Ishak, MA.
Peneliti Dayah Aceh dan Dosen UNISAI Samalanga, Bireuen.

x
Dayah, Boarding School, dan Kegelisahan Orang Tua Antara Pergaulan Bebas dan Bully di Dayah
Menu
Cari
Bagikan
Lainnya
0%